Minggu, 11 Maret 2012

KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI


 
KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI

Konsep masyarakat madani bila di tinjau dari segi nilai-nilai Islammerupakan sebuah gagasan yang sangat Islami. Ia merupakan cita-cita Islam.Sejarah telah mencatat bahwa masyarakat madani pernah dibangun Rasulullahketika beliau mendirikan komunitas muslim di kota Madinah. Sebelum terbentuk kota Madinah, daerah tersebut bernama Yastrib, kota wahah atau oase yang subur sekitar 400 km sebelah utara Mekkah. Nabi Muhammad-lah yang kemudianmengubah namanya menjadi Madinah, setelah hijrah ke kota itu. Sesampai diYastrib, setelah perjalanan berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh kerahasiaan, Nabi disambut oleh penduduk kota itu, dan para gadisnya menyanyikan lagu Thala'a al- badru 'alaina (Bulan Purnama telah menyingsing di atas kita), untaian syair dan lagu yangkelak menjadi amat terkenal di seluruh dunia. Kemudian setelah mapan dalam kota hijrahitu, Nabi mengubah nama Yastrib menjadi al-Madinat al-nabiy (kota nabi). 

Menurut Nurcholish Madjid, perubahan nama dari Yastrib menjadiMadinah pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat atau proklamasi untuk mendirikan dan membangun masyarakat berperadaban di kota itu. Di kotaMadinah inilah Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat berperadaban berlandaskan ajaran Islam, masyarakat yang bertaqwa kepada Tuhan Yang MahaEsa.Secara konvensional, perkataan "madinah" memang diartikansebagai "kota". Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itumengandung makna "peradaban".

Dalam bahasa Arab, "peradaban"memang dinyatakan dalam kata-kata "madaniyah" atau "tamaddun",selain dalam kata-kata "hadharah". Karena itu tindakan Nabimengubah nama Yastrib menjadi Madinah, pada hakikatnya adalahsebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama parapendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Ansharhendak mendirikan dan membangun mansyarakat beradab. Tak lama setelah menetap di Madinah itulah, Nabi bersama semua pendudukMadinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani,dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumenyang dikenal sebagai piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Dalamdokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan,antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama-sama. Dan diMadinah itu pula, sebagai pembelaan terhadap masyarakat madani,Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata, perangmembela diri dan menghadapi musuh-musuh peradaban.

Masyarakat madani yang dibangun Nabi Muhammad Saw tersebut bercirikan antara lain :
egalitarianisme, penghargaan kepada manusia berdasarkan prestasi (bukan  prestise seperti keturunan, kesukuan, ras dan lain-lain),keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan ketentuan kepemimpinanmelalui pemilihan umum, bukan berdasarkan keturunan. Semuanya berpangkal pada pandangan hidup berketuhanan dengan konsekuensi tindakan kebaikankepada sesama manusia. Masyarakat madani tegak berdiri di atas landasankeadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang kepada hukum(Gaus, 2000).
Dalam mewujudkan masyarakat madani seperti yang dikemukakan di atas,diperlukan manusia-manusia yang secara pribadi berpandangan hidup dengansemangat ketuhanan, dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesamamanusia. Untuk itu Nabi Muhammad SAW telah memberikan keteladanan dalammewujudkan suatu masyarakat seperti ciri-ciri masyarakat madani di atas.Misalnya, dalam rangka penegakan hukum dan keadilan, Nabi Muhammad SAWtidak membedakan antara semua orang. Sekiranya saja Fatimah putri Nabimelakukan kejahatan, maka ia juga akan dihukum dengan ketentuan yang berlaku.Masyarakat madani membutuhkan adanya pribadi-pribadi yang tulus yangmengikat jiwa pada kebaikan bersama.

Namun, komitmen pribadi saja tidak cukup, tetapi harus diiringi dengan tindakan nyata yang terwujud dalam bentuk amal shaleh. Tindakan itu harus diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat,dalam tatanan kehidupan kolektif yang memberi peluang adanya pengawasan.Dalam mewujudkan pengawasan inilah dibutuhkan keterbukaan dalammasyarakat. Mengingat setipa manusia sebagai makhluk yang lemah mungkin sajamengalami kekeliruan dan kekhilafan . Dengan keterbukaan ini, setiap orang mempunyai potensi untuk menyatakan pendapat dan untuk didengar, sementaradari pihak pendengar ada kesediaan untuk mendengar dengan rendah hati untuk merasa tidak selalu benar.
Dengan kata lain, bersedia mendengar pendapat oranglain untuk diikuti mana yang terbaik.Selain ciri-ciri yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madanisebagai masyarakat yang ideal juga memiliki karaktersitik, sebagai berikut :

1.Bertuhan,
artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang bergama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukumTuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial. Manusiasecara universal mempunyai posisi yang sama menurut fitrahkebebasan dalam hidupnya, sehingga komitmen terhada kehiduansosial juga dilandasi oleh relativitas manusia dihadapan Tuhan.Landasan hukum Tuhan dalam kehidupan sosial itu lebih objektif danadil, karena tidak ada kepentingan kelompok tertentu yang diutamakandan tidak ada kelompok lainn yang diabaikan.

2.Damai,
artinya masing-masing elemen masyarakat, bak secara individumaupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.Kelompok sosial mayoritas hidup berdampingan dengan kelompok minoritas sehingga tidak muncul kecemburuan sosial. Kelompok yangkuat tidak menganiaya kelompok yang lemah, sehingga tiranikelompok minoritas dan anarki mayoritas dapat dihindarkan.

3.Tolong-menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lainyang dapat mengurangi kebebasannya.
Prinsip tolong-menolong antar anggota masyarakat didasarkan pada aspekemanusiaan karenakesulitan hidup yang dihadapi oleh sebagian anggota masyarakattertentu, sedangkan pihak lain memiliki kemampuan embantu untuk meringankan kesulitan hidup tersebut.

4.Toleransi,
artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yangtelah diberika oleh Aloh sebagai kebebasan manusia dan tidak merasaterganggu orang lain yang berbeda tersebut. Masalah yang menonjol dari sikap toleran ini adalah sikap keagamaan, dimana setiap manusiamemliki kebebasan dalam beragama dan tidak ada hak bagi orang lainyang berbeda agama untuk mencampurinya. Keyakinan beragamatidak daat dipaksakan. Akal dan pengalaman hidup keagamaanmanusia mampu menentukan sendiri manusia yang mampumenentukan sendiri agama yang dianggap benar.
5.Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosia.
Setiap anggotamasyarakat memiliki hak dan kewajiban yang seimbang untuk menciptakan kedamaian, kesejahteraan dan keutuhan masyarakatsesuai dengan kondisi asng-masing. Keseimbangan hak dan kewajibanitu berlaku pada seluruh aspek kehidupan sosial, sehingga tidak adakelompok sosial yang lain sekedar karena ia mayoritas.
6.Berperadaban tinggi,
artinya masyarakat tersebut memiliki kecintaanterhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan hidup manusai. Ilmu pengetahuanmempunya peranan yang sangat penting dalam kehidupan umatmanusia. Ilmu pengetahuan memberi kemudahan dan meningkatkanharkat dan martabat manusia, disampig emberikan kesadaran akan posisinya sebagai khalifah Alloh. Namun si sisi lain, ilmu pengetahua juga bisa menjadi ancaman yang membahayakan kehidupan manusai, bahkan memmbahayakan lingungan hidup bila pemanfaatannya tidak disertai dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
7.Berakhlak mulia.
 Sekalipun pembentukkan akhlak masyarakat dapatdilakukan nerdasarkan nilai-nilai kemanusiaan semata, tetapirelativitas manusia dapat menyebabkan terjebaknya konsep akhlak yang relatif. Sifat subjektif manusia serig sukar dihindarkan. Olehkarena itu, konsep akhlak tidak boleh dipisahkan dengan nilai-nilaiketuhanan, sehingga substansi dan aplikasinya tidak terjadi penyimpangan. Aspek ketuhanan dalam aplikasi akhlak memotivasimanusia untuk berbuat tanpa menggantungkan reaksi serupa dan pihak lain. (Akram, 1999).

 
Dalam kontek keindonesiaan, maka masyarakat madani yang akandibangun berada di atas keanekaragaman dalam berbagai hal. Dengan luaswilayah 2.027.07 km² yang terisah-pisah oleh lautan, dimana terdapat lebihkurang 3.000 pulau besar dan kecil, maka masyarakat Indonesia terbagi-bagimenjadi kelompok-kelompok suku yang terpisah satu sama lain dan masing-masing tumbuh sesuai dengan alam lingkungannya. Ini berlangsung selamaribuan tahun, sehingga menyebabkan kebhinekaan dalam masyarakat Indonesia(Abu Ahmadi, 1985).
Tiap-tiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda. Di Sumatera adalingkungan budaya daerah Aceh, budaya daerah Minang, dan budaya daerahMelayu. Di Kalimantan ada budaya daerah Dayak dan budaya daerah Banjar. DiSulawesi ada budaya daerah Minahasa, budaya daerah Bugis, budaya daerahToraja. Di Jawa ada budaya daerah Sunda, budaya daerah Jawa, dan budayadaerah Madura. Semua keanekaragaman budaya itu harus disadari sebagai suaturealitas yang ada di negara Indonesia.

Keanekaragaman lain adalah beranekaragaman agama penduduk Indonesia. Ada yang menganut agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Khatolik,Hindu, Budha. Disamping itu terdapat juga keanekaragaman di bidang sumber daya alam. Ada daerah yang subur, tetapi ada juga daerah yang tandus. Ada daerah yang memiliki kekayaan alam, seperti tambang emas, intan, minyak, batu bara, dan gas alam. Ada juga yang memiliki kkekayaan hutan yang lebat, tetapiada juga daerah yang sedikit memiliki sumber daya alam. Di atas keragamanitulah, negara Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.Jauh sebelum Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia telah membentuk  berbagai organisasi sosial seperti Jami’at Khair pada tahun 1905, Muhammadiyah pada tahun 1912, Al-Irsyad pada tahun 1913, Persatuan Islam pada tahun 1923, NU pada tahun 1926, dan Persatuan Tarbiyah Islam pada tahun 1930. Organisasisosial tersebut bergerak diberbagai bidang seerti bidang pendidikan, kesehatan,ekonoi dan pelayanan-pelayanan sosial lainnya. Mereka melakukan aktivitasdengan tingkat kemandirian yang sangat tinggi bahkan hampir tidak ada samasekali campur tangan penguasa.
 
Kemudian pada awal-awal kemerdekaan, pergumulan ideologi masyarakatdalam penetuan dasar negara mulai terjadi. Ada emapt ideologi masyarakat yangsaling berebut pengaruh daam menentukan dasar penyelenggaraan negara.Ideologi tersebut adalah Islam, Kristen, Nasionalisme, dan marxisme/komunisme.Perbedaan ideologi ini sering mewarnai perdebatan dalam setiap penentuankebijakan penyelenggaraan negara Indonesia khususnya dalam pembuatankonstitusi negara (Djaelani, 1996). Kecuali marxismekomunisme, ketiga ideologiyang jam masih eksis dan selalu memberi warna bahakn terkadang terjadiketegangan-ketegangan dalam lembaga legislatif.
Walaupun demikian, perbedaanideologi tersebut masih dapat diikat oleh ideologi negara yakni Pancasila yangdianggap menaungi perbedaan ideologi-ideologi yang ada.

Oleh karena itu, masyarakat madani haruslah masyarakat yang demokratisyang terbangun dengan menegakkan musyawarah. Musyawarah pada hakikatnyamenginterpretasi berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberi hak untuk menyatkan pendapat, dan mengakui adanya kewajiban utuk mendengarkan pendapat orang lain.Demokrasi di berbagai bidang sudah dijamin pada UUD 1945.

Dengan demikian prinsip dasar masyarakat madani sudah terpenuhi oleh negara Indonesia.Akan tetapi rumusan itu merupakan rumusan yang masih bersifat umum danmemerlukan perincian lagi, baik dalam undang-undang maupun dalam bentuk  pelaksanaan teknis lainnya. Untuk menciptakan demokratisasi di berbagai bidang,maka semua aturan yang dibuat harus memenuhi prinsip-prinsip demokrasi.

Dalam bidang politik, prinsip-prinsip demokratisasi tersebut di antaranyaadalah :

1.Akuntabilitas,
yang berarti bahwa setiap pemegang jabatan yangdipilih oleh rakyat, baik jabatan legislatif, eksekutif atau yudikatif harus dapat mempertanggung jawabkan kebijakan apa yang dipilihnyauntuk dilaksanakandalam kehidupan sehari-hari yang menyangkutkepentingan masyarakat banyak  

2.Rotasi kekuasaan,
 yang berarti terjadinya pergantian pemerintahansecara teratur dengna cara yang damai dari satu pemerintahan ke pemerintahan yang lain, dari seorang penguasa kepenguasa yang lain.
3.Rekrutmen politik yang terbuka,
yang berarti setiap orang yangmemenuhi syarat untuk memegang sebuah jabatan politik mempunyaikesempatan dan peluang yang sama untuk berkompetisi guna mengisi jabatan tersebut.
4.Pemilihan umum,
 maksudnya bahwa warga negara yag memenuhisyarat mempunyai hak memilih dan dipilih untuk menduduki jabataneksekutif dan legislatif yang dilaksanakn secara teratur dengantenggang waktu jelas.
5.Menikmati hak-hak dasar manusia,
 yakni dalam hidup bernegara dan bermasyarakat setiap individu mempunyai peluang untuk menikmatihak-hak dasar, yaitu hak menyatakan pendapat, hak untuk berserikatdan berkumpul dan hak menikamti pers yang bebas.
Dalam bidang ekonomi prinsip demokrasi mempersyaratkan bahwamasyarakat mendapat kesempatan untuk melakukan aktivitas ekonomi tanpa adahambatan dari negara. Masing-masing warga negara mendapat hak untuk  berusaha sesuai dengan kemampuan dan minat yang dimiliki, serta berhak untuk melakukan kegiatan ekonomi dimana pun dalam wilayah Indonesia.
Negara hanyamemberikan batas-batas yang ditujukan untuk menjamin agar hak warga negaradapat terlindungi, misalnya melarang monopoli, melarang melakukan kecurangandan lain-lain.Dalam bidang sosial, masyarakat madani menghendaki agar hak-hak individu dan kelompok dijamin dan terlindungi dari pengaruh intervensi negara.Masing-masing organisasi masyarakat memiliki hak otonom untuk mengatur dirinya, walaupun tidak memungkiri peran negara dalam melindungi dan menjagadari berbagai kepentingan-kepentingan besar, yang dapat mendominasi dalamtatanan masyarakat (madjid, 1994).  
Dengan adanya keanekaragaman di Indonesia, mungkin saja akan terjadi benturan-benturan kepentingan, baik karena perbedaan budaya, agama dan suku.Di sinilah peran negara (pemerintah) untuk menjembatani agar tidak adakelompok masyarakat tertentu yang merasa dirugikan. Islam telah memberikangarisan solusi, bahwa umat Islam harus menyadari dan menghargai adanyakeanekaragaman itu. Hal-hal yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatanhendaknya dibicarakan secara musyawarah, sehingga akan muncul hubungansosial yang luhur yang dilandasi oleh toleransi dalam keanekaragaman.








NAMA       : DANIEL TIOVAN PANJAITAN
KELAS       : 2EA11
NPM           : 19210566

PENGERTIAN MASYARAKAT MADANI


Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
Masyarakat Madani Dalam Sejarah
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu:
1) Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Karakteristik Masyarakat Madani
Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
8. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
9. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi kebebasannya.
11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.
12. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
14. Berakhlak mulia.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience).
Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sbb:
1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992).
Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:
1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.
2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.”
Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.
Masyarakat Sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society), yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat Marxis. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan instumental (lih. Gellner:1996).
Seperti Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai landasan berpartisipasi. Dia juga tidak mempertimbangkan peranan agama ketika menguraikan saling mempengaruhi antara dua partisipan tersebut (masyarakat komersial dan masyarakat perang), padahal dia memasukan kebajikan di dalam konsep masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih sempit ialah bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan sosial di mana pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin.
Selanjutnya sebagai pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan di antara keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi jelas terlihat bahkan dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan hanya ada satu tatanan sosial, politik dan ekonomi yang saling memperkuat satu sama lain. Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat komersial. Kekhawatiran Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang digantikan dengan masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan musuh. Secara tidak disadari Ferguson menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu Khaldun yang mengemukakan spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan yang merupakan syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di dalam masyarakat Ibnu Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi sebagai penjaga keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada bagi dunianya, masyarakat sipil.
Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara langsung me-refer kepada “masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih. Alatas, 2001:7). Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum.
Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Alquran.
Meski Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah.
Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw. beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).
Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani.
Dalam pandangan saya, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani. Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi dalam pandangan Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat (49) ayat 13.
Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Dalam ajaran Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia (pluralitas) juga merupakan sumber dan motivator terwujudnya vividitas kreativitas (penggambaran yang hidup) yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan (Muhammad Imarah:1999).
Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit akan tercipta manakala umat Islam memiliki sikap inklusif dan mempunyai kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan identitas sejati atas parameter-parameter autentik agama tetap terjaga.
Kedua, adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain.
Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan Islam tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan seiring dan saling menghormati satu sama lain. Sebagaimana hal itu pernah dicontohkan Rasulullah Saw. di Madinah. Setidaknya landasan normatif dari sikap toleransi dapat kita tilik dalam firman Allah yang termaktub dalam surat Al-An’am ayat 108.
Ketiga, adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan istilah musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi dengan musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran juga terdapat nilai-nilai demokrasi (surat As-Syura:38, surat Al-Mujadilah:11).
Ketiga prinsip dasar setidaknya menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan terwujudnya sebuah tatanan sosial masyarakat madani dalam konteks hari ini. Paling tidak hal tersebut menjadi modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan.


NAMA       : DANIEL TIOVAN PANJAITAN
KELAS       : 2EA11
NPM           : 19210566