Rabu, 04 Januari 2012

HUBUNGAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA


Agama memang tetap menjadi basis moral dan benteng spiritual, tetapi agama juga sering membuat masyarakat hancur, karena religisitas umat beragama mudah terprovokasi. Karena, Agama tidak bisa dengan dirinya sendiri dan dianggap dapat memecahkan semua masalah. Agama hanya salah satu faktor dari kehidupan manusia. Mungkin faktor yang paling penting dan mendasar karena memberikan sebuah arti dan tujuan hidup. Tetapi sekarang kita mengetahui bahwa untuk mengerti lebih dalam tentang agama perlu segi-segi lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat. Yang paling mungkin adalah mendapatkan pengertian yang mendasar dari agama-agama. Jadi, keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting. Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis. Namun ketika kontak-kontak antaragama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling pengertian. Di masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama selain agama mereka sebagai lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai satu sama lain. (Bali Post ; 2003)
Seperti ditegaskan Kimball (2003:12), argumen bahwa adalah orang atau penganut agama― bukan agama itu sendiri―sebagai masalah mengandung kekuatan dan kebenarannya sendiri, karena pada akhirnya memang sikap dan tindakan manusialah yang menjadi persoalan dan menimbulkan masalah. Tetapi penting juga diingat, agama bukanlah entitas abstrak, yang secara bebas mengambang (free-floating) begitu saja. Agama hidup sebagai suatu tradisi yang dipeluk dan menjadi hidup di tangan masyarakat manusia. Agama yang kemudian menjadi tradisi memengaruhi perjalanan manusia; sebaliknya manusia juga memengaruhi agama. Karena itulah ajaran-ajaran dan struktur-struktur agama tertentu dapat digunakan siapa saja untuk kepentingannya sendiri, hampir sama dengan pistol atau senjata apa saja yang dapat digunakan untuk menghabisi riwayat orang lain.
Para penganut agama terlalu sering menjadikan pemimpin-pemimpin agama mereka, ajaran-ajaran agama dan kebutuhan untuk membela struktur-struktur institusional agama sebagai alat dan justifikasi bagi tingkah laku mereka yang tak bisa diterima. Karena itu, orang yang berpikiran mendalam harus mencoba belajar lebih banyak lagi tentang kemungkinan bahaya-bahaya dan janji-janji yang terkandung dalam fenomena kemanusiaan global yang kita sebut agama.
Dalam kajian Azyumardi Azra (Azra: 2001), perjumpaan keras antar agama di Indonesia bersumber setidak-tidaknya dari lima faktor. Pertama, penerbitan tulisan-tulisan yang diterbitkan kalangan suatu agama tertentu tentang suatu agama lain yang dipandang para pemeluk agama lainnya ini tidak sesuai dengan apa yang mereka imani dan, karena itu, dianggap mencemarkan agama mereka (blasphemous). Dalam hal ini juga tercakup tulisan-tulisan (biasanya, tidak jelas sumbernya) yang berisi “rencana” penyebaran agama; kedua, usaha penyebaran agama secara agresif; ketiga, penggunaan rumah sebagai tempat ritual secara bersama-sama atau pembangunan rumah ibadah di lingkungan masyarakat penganut agama tertentu; keempat, penetapan dan penerapan ketentuan pemerintah yang dipandang diskriminatif dan membatasi penyebaran agama; dan kelima, kecurigaan timbal-balik berkenaan dengan posisi dan peranan agama dalam negara-bangsa Indonesia.
Dialog
Dalam bukunya Ansari, dkk((cf Ansari & Esposito, eds: 2001).sebagian besar perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya Kristen dan Islam, bersifat damai. Dalam waktu-waktu tertentu―ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial yang cepat, yang memunculkan krisis― pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih sering menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai “non-agama.” Bahkan terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat domestik di Indonesia maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat perjumpaan secara damai tersebut. Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai. Sebagaimana Ali Masrur (Ali Masrur : 2004) menyatakan dalam artikelnya bahwa; Fenomena antar umat beragama seperti kesalahpahaman, ketegangan, dan mungkin juga konflik antaragama membuat kita semua, tidak bisa tidak, harus melakukan dialog untuk mengurangi benturan-benturan tersebut, jika bukan meniadakannya. Di masa lalu hubungan antaragama ditandai dengan antagonisme polemik dan upaya untuk mengalahkan, menundukkan, dan menggaet pihak lain ke agama kita. Hal ini disebabkan karena hubungan antaragama belum sering terjadi. Agama-agama saat itu hidup dalam suatu masyarakat yang relatif homogen, tertutup, dan belum mengenal dunia lain selain dunianya sendiri. Dalam keadaan demikian, agama-agama lebih mengembangkan sikap egosentrisme masyarakat yang beranggapan bahwa merekalah satu-satunya masyarakat yang beragama secara benar sedangkan agama-agama lain yang dianut oleh komunitas agama lain diklaim salah dan sesat.
Semua ini tidak bisa terwujud tanpa adanya dialog antar pemeluk agama secara intensif dan berkesinambungan. Tentu saja yang dimaksudkan dengan dialog di sini bukanlah upaya mengonversi pihak lain untuk memeluk agama kita; bukan usaha menyatukan semua ajaran agama menjadi satu agama; bukan beradu argumentasi antar pelbagai pemeluk agama hingga ada yang menang dan ada yang kalah; dan bukan pula meminta pertanggungjawaban orang lain dalam menjalankan agamanya
Dialog antaragama adalah pertemuan hati dan pikiran antarpemeluk berbagai agama dalam kedudukannya yang setaraf dan sederajat tanpa merasa lebih baik atau lebih tinggi daripada yang lain, serta tanpa tujuan yang dirahasiakan. Dialog lebih merupakan komunikasi antar penganut agama dan jalan bersama untuk mencapai tujuan dan kerja sama dalam projek-projek yang menyangkut kepentingan bersama. Dialog semacam ini menuntut para peserta dialog untuk dapat menghormati, bersedia mendengar, tulus, terbuka, mau menerima pendapat orang lain, dan mau bekerja sama dengan orang lain.
Pada level ini, dialog mensyaratkan suatu kebebasan beragama sehingga setiap penganut agama bebas mendalami dan melakukan keyakinannya, serta menguraikan dan mengomunikasikan pengalaman keagamaannya kepada orang lain.
Prospek ke Depan
Perjumpaan antar umat beragama di Indonesia yang kadang-kadang keras seperti disarankan di atas, muncul karena banyak faktor yang rumit. Perjumpaan ini akan semakin meningkat intensitasnya di masa-masa mendatang. Karena itu, pemahaman atas faktor-faktor penyebab pertemuan keras itu semakin relevan dan mendesak, supaya dapat dilakukan antisipasi sebelum segalanya menjadi terlambat. Karya Aritonang (Aritonang : 2004), ini jelas memperkaya pengetahuan kita tentang berbagai faktor yang mengakibatkan terjadinya perjumpaan antar umat beragama di Indonesia. Sebagaimana kajian-kajian historis umumnya, umat-umat beragama seharusnya dipandang bukan hanya sebagai academic exercises, tetapi juga sebagai “pelajaran”, sehingga peristiwa-peristiwa pahit yang pernah terjadi di masa silam tidak terulang kembali di masa kini dan mendatang.
Yang tidak kurang pentingnya, berbagai kesimpulan dan saran yang dikemukakan Aritonang dalam karyanya dapat menjadi semacam “guidance” bagi perjumpaan yang lebih damai, toleran dan penuh persahabatan antara para penganut Kristen dan Islam dan, tidak kecuali, agama-agama lain di Indonesia. Dan, jika semua itu dapat diaktualisasikan, maka umat beragama tidak hanya telah memberikan suatu kontribusi penting dalam perwujudan kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara yang lebih baik, tetapi sekaligus melindungi agama itu sendiri dari pencemaran yang dapat menimbulkan citra yang tidak benar dan keliru terhadap agama.
Adapun Solusi yang ditawarkan oleh Ali Masrur (Ali Masrur : 2004), kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog. Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap optimis. Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai tempat.
Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba antar penganut agama.

NAMA : DANIEL TIOVAN PANJAITAN
NPM : 19210566

0 komentar:

Posting Komentar