Islam dan Demokrasi
Apa kaitan antara Islam dan demokrasi di Indonesia ?
Apakah Islam sejalan dengan demokrasi atau sebaliknya? Bagaimana kira-kira
konstribusi Islam dan demokrasi di Indonesia pada masa datang? Apakah
Islam di Indonesia masih punya masa depan? Empat untai pertanyaan sederhana
namun penting ini relevan diajukan pada khazanah Islam yang mendedahkan wacana
Islam dan demokrasi di Indonesia .
Membedah wacana Islam dan demokrasi tentu saja tidak bisa
lepas dari panggung pergulatan politik, negara, kekuasaan, dan pemerintahan di
satu sisi, serta relasi antara Islam dengan entitas lain di luar Islam, pada
sisi yang lain. Islam yang dimaksudkan bukanlah sebuah basis nilai dan ajaran
yang sama dan tunggal. Islam hanya bisa dilihat dan dirasakan dari ekspresi
para pemeluknya. Justeru karena Islam hanya bisa dilihat dan dirasakan dari
ekspresi para pemeluknya, maka Islam pun sudah pasti berwajah banyak. Jika
Islam berwajah banyak, maka ekspresi politik Islam pun, tentu saja, amat
beragam. Islam kadang sejalan dengan demokrasi, tapi kadang juga berseberangan.
Setidaknya, inilah poin penting dan pelajaran yang bisa kita ambil setelah
menelaah buku-buku yang temanya saling bersentuhan, meskipun tidak bisa
dikatakan sama persis alur bercerita dan isinya.
Jika dibandingkan
antara buku yang satu dengan yang lainnya, maka ada (nuansa)
persamaan-persamaannya, tapi juga ada (nuansa) perbedaan-perbedaannya.
Dibandingkan buku lainnya, karya Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (2001, Edisi Bahasa Indonesia), tampaknya lebih
menarik dan bermutu, baik dari cara penyajiannya maupun bobot isinya. Untuk
itu, khazanah dalam tulisan ini, lebih difokuskan pada karya Hefner. Entah
kenapa para ilmuwan dan Indonesianis yang berasal dari Barat (atau luar
Indonesia) sebut saja di antaranya Martin van Bruinessen, Greg Fealy, Greg
Barton, Daniel Lev, William Liddle, Harold Crouch, Mitsuo Nakamura, dan Hefner
sendiri, seringkali menelorkan karya yang lebih menarik dan berbobot,
dibandingkan dengan karya para ilmuwan Indonesia jika membahas tema yang
(hampir) sama berkaitan dengan fenomena Indonesia. Ilmuwan asing tampaknya
lebih cermat, tekun, teliti, profesional, dan luas perspektif keilmuannya
dibandingkan dengan ilmuwan Indonesia. Ini bukan pandangan yang bias asing,
melainkan berbicara tentang kenyataan.
Kita bisa periksa
dan bandingkan antara karya ilmuwan asing dengan ilmuwan Indonesia, tentang
berbagai hal yang berbau Indonesia yang cukup banyak bertebaran di tanah air.
Sebutlah buku yang sama-sama punya titik sentral telaah wacana Islam dan Politik di Indonesia pada era Orde Baru. Cuma untuk sekadar perbandingan,
beberapa buku memulainya dengan wacana Islam dan politik pada era Orde Lama.
Untuk menepis
kesalahpahaman tentang bukunya yang mengekspos wacana “demokrasi”, terlebih
dahulu Hefner mengajak pembaca untuk meletakkan wacana “demokrasi” pada
proporsinya yang pas. Hal ini penting karena hingga sekarang, demokrasi—yang
antara lain berisi nilai-nilai pluralisme, kebebasan, persamaan, keadilan, toleransi,
dan partisipasi—di satu sisi mempesona banyak orang, tapi di sisi lain juga
mengundang skeptisisme. Kelompok yang skeptis biasanya memandang demokrasi
sebagai wacana yang berasal dari Barat, yang tentu saja tidak mungkin sesuai
dengan budaya lain di luar Barat. Bahkan ada yang menganggap bahwa demokrasi,
juga civil-society(dari sini mungkin Hefner mendapat istilah
“civil-Islam”), merupakan cangkokan dari Barat, dan bagian dari proyek
imperialisme Barat yang terselubung dengan retorika yang manis, enak, dan
menarik. Inilah kecongkakan dan kekejaman Barat yang membungkus proyek
Imperialisme dengan retorika yang indah dan luhur.
Hefner sebagai
orang Barat mungkin saja bisa dianggap bias Barat. Demokrasi secara geneologis
berasal dari Barat. Tapi, Hefner dan Barat ternyata juga punya argumentasi yang
(cukup) baik untuk menepis prasangka-prasangka itu. Dalam dua titik ekstrem
sikap terhadap demokrasi, baik yang menerima secara utuh maupun menolaknya,
maka biasanya muncul “jalan tengah” yakni sikap kritis untuk belajar dari
nilai-nilai demokrasi yang berasal dari Barat dengan segala kekurangan dan
kelebihannya. Yang bisa dikontekstualisasikan dengan budaya lokal pun bisa
dipakai, sementara yang tidak bisa dikontekstualisasikan dengan budaya lokal
sebaiknya ditepiskan. Hefner sendiri punya keyakinan bahwa jika
dikontekstualisasikan dengan tepat, wacana demokrasi bukanlah konstruksi ikatan
budaya yang hanya relevan dengan konteks masyarakat Barat.
Kunci sebenarnya ke arah daya tarik lintas kultural
demokrasi bukanlah peniruan atau “westernisasi”. Melainkan dialog dan
kontekstualisasi. Menurut Hefner, beberapa pemikir muslim telah punya opini
bahwa suatu perspektif dialogis lintas kultural adalah titik masuk yang lebih
baik untuk memaknai demokrasi modern ketimbang pendekatan filologis sempit yang
membekukan gagasan-gagasan masa lalu Barat yang mistis. Dalam konteks ini,
Hefner memutuskan untuk malampaui batas-batas pelatihan akademiknya dan
bersepakat bagaimana seseorang berpikir tentang demokrasi dan reformasi agama
dalam tradisi non-Barat. Penerimaan gagasan demokrasi di luar Barat tidaklah
menjanjikan kebenaran, tapi lebih memperkaya.
Kunci kemungkinan demokrasi tidaklah tunggal melainkan
beragam. Ia dibangun berdasarkan intervensi strategis pada beberapa titik dalam
lingkaran demokrasi, yaitu asosiasi sipil, pers, dan peradilan bebas,
distribusi kesejahteraan dan kesempatan yang merata dan tentunya pula dukungan
publik terhadap rakyat dan pimpinan yang memiliki komitmen terhadap tujuan ini.
Menurut Hefner, tidak ada demokrasi yang cocok untuk semua, melainkan beragam
bentuk yang dihubungkan oleh kemiripan keluarga. Nilai-nilai demokrasi seperti
kebebasan, persamaan, dan toleransi dalam keragaman tidak hadir dalam instruksi
yang dapat dipaksakan untuk seluruh tempat dan waktu. Nilai-nilai
ini mengikuti pedoman praktis dan partikularitas tempat dimana ia dilaksanakan.
Bahkan, di Eropa Barat modern, kita tahu keseimbangan capaian antara
nilai-nilai demokrasi beragam menurut tempat dan waktu (hlm. 356).Sejarah
tidak pernah berakhir, tidak ada kemenangan idealitas demokrasi yang definitif.
Zaman kita tetap zaman percobaan demokrasi, dan apakah lebih baik atau lebih
buruk, putusan sejarah akan beragam.
***
Asumsi Hefner tentang demokrasi sebagaimana diurai di depan
perlu dikenali karena kacamata “demokrasi”-lah yang dipakai Hefner untuk
menilai perjalanan Islam di Indonesia. Sebagai seorang antropolog sosial,
Hefner mencoba menampilkan karya yang bersifat antropologis. Ini sebenarnya
sebuah tantangan karena Islam dan demokrasi merupakan topik yang begitu luas.
Hefner melakukan penelitian tentang Islam dan demokrasi di Indonesia . Ada kecenderungan baru
dalam bidang antropologi dan ilmu humaniora yang coba dijejaki Hefner.
Antropologi pada
awal 1990-an mangalami transformasi besar. Dengan meninggalkan masyarakat
berskala kecil yang telah menjadi perhatian lama, antropologi dan gerakan para
antropolog beralih ke studi masyarakat yang kompleks dan mendorong pencarian
spirit yang dalam di bidang tersebut. Dalam soal penelitian tentang Islam dan
demokrasi di Indonesia sebagaimana dilakukan Hefner, beberapa ilmuwan Indonesia
heran, apa yang bisa dikatakan seorang antropolog tentang topik yang begitu
luas seperti Islam dan demokrasi?
Proyek penelitian
Islam dan demokrasi di Indonesia ini memang berbeda dengan yang umumnya
dilakukan di bidang antropologi. Para antropolog Indonesia telah lama
mencitrakan diri mereka sebagai spesialis petani, komunitas-komunitas
berlingkup kecil, dan masyarakat pinggiran lainnya. Sementara di sisi lain
topik Islam dan demokrasi menjadi bidang garapan para ahli politik, sosiolog,
dan para ahli lainnya yang lebih merupakan fokus dari pergerakan pusat pada era
modern ketimbang pinggiran yang penuh pertentangan.
Dengan alasan
yang berbeda, teman-teman Hefner di lingkungan antropologi Amerika juga skeptis
tentang ide antropologi demokrasi sebagaimana (akan) dirintis oleh Hefner.
Muncul beberapa pertanyaan, apakah gagasan-gagasan seperti demokrasi dan
masyarakat sipil bisa menjadi segala sesuatu lebih dari sekadar konstruksi
budaya masyarakat Barat modern. Akan tetapi Hefner jalan terus, dan ternyata
berhasil memuncukan karya yang gemilang dan mendapat pujian banyak orang.
Dibandingkan buku lain, semisal karya Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di
Indonesia, Thaba,Islam
dan Negara dalam Politik Orde baru dan Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, kemasan buku Hefner—terutama dilihat
dari sampul bukunya—terkesan lebih ilustratif, imajinatif, dan ekspresif.
Buku Hefner ini
merupakan karya antropologi sosial dan sosiologi sejarah. Justeru karena
merupakan karya antropologi sosial dan sosiologi sejarah, maka metodologi yang
dipakai Hefner bukanlah metodologi sejarah klasik, dengan titik tekan
kehati-hatian terhadap kronologi peristiwa, yang telah lama dianggap baku.
Berbeda dengan ini, uraian Hefner meliputi sampel-sampel selektif tentang momen
dan peristiwa-peristiwa kunci, juga wacana-wacana penting di sekitar demokrasi
kaitannya dengan Islam di Indonesia. Dari sini dia mencoba menarik kesimpulan
umum tentang bagaimana politik Islam bekerja, dan bagaimana hal itu berhubungan
dengan proses demokratisasi.
Dalam soal itu,
karya Hefner tampaknya berbeda dengan karya-karya lainnya tentang ekspresi
politik Islam di Indonesia, seperti tulisan Aminudin, Karim, dan utamanya
Thaba, yang memakai pendekatan sejarah klasik dan memberi titik tekan pada
kronologi peristiwa. Karya Hefner yang dihasilkan dari penelitian panjang—baik
riset pustaka, lapangan, dan interview—sepanjang tahun 1991-1998 (tujuh tahun!)
digarap dengan format dan alur yang sederhana, lugas, enak dibaca, tapi juga
mendalam. Ini berbeda dengan tiga karya lainnya tulisan Aminudin, Thaba, dan
Karim, yang teknik penuturannya kurang lancar, strukturnya njlimet, terutama
terasa dalam awal-awal tulisan yang bertele-tele dan agak menjenuhkan.
Hal itu tampaknya
bisa dimaklumi karena tiga tulisan yang telah diterbitkan ini berasal dari
karya akademis yang berwatak (terlalu) ketat dan kering, masing-masing Aminudin
(berasal skripsi S1), Thaba (berasal dari tesis S2), dan Karim (berasal dari
disertasi S3). Jika penerbit tiga karya ini cukup jeli terhadap format buku
yang familiar dan enak dibaca, harusnya tiga karya ini mengalami fase
penyuntingan yang ketat sebelum diluncurkan ke khalayak pembaca. Misalnya saja
dengan cara memangkas format skripsi-tesis-disertasi-nya yang kaku dan ketat, kemudian
mengadaptasinya menjadi buku yang enak dibaca. Selain itu, dibandingkan dengan
Aminudin, Thaba, dan Karim, Hefner lebih punya kejelian dalam menghadirkan
wacana-wacana yang penting dan menarik di sekitar Islam dan demokratisasi di
Indonesia.
***
Karya Hefner ini
mencoba menyajikan sebuah antropologi-sosial tentang demokratisasi di dalam
mayoritas masyarakat muslim yang dilihat melalui capaian-capaian dan kemunduran-kemundurannya.
Hampir sama dengan tiga buku lainnya karya Aminudin, Thaba, dan Karim, karya
Hefner mendedahkan kelebihan dan kekurangan Islam dalam pentas politik,
kekuasaan, pemerintahan, dan negara. Dalam fase sejarah tertentu, Islam sesuai
dengan nilai-nilai demokrasi, tapi dalam momen sejarah lainnya Islam
berseberangan atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Islam
kadang ikut mencerahkan, tapi juga sekaligus menggelapkan kebudayaan dan
peradaban.
Menurut Hefner,
politik Islam (atau juga Islam politik-pen) tidak monolitik, tetapi
plural, sebagaimana politik pada semua peradaban (hlm. 21). Inilah tesis
penting untuk menelaah Islam dan demokratisasi di Indonesia, sebagaimana diurai
secara cukup panjang lebar oleh empat buku ini. Islam begitu kaya warna dan
banyak wajah, sehingga tidak selalu bisa dipetakan secara baik, memuaskan, dan
representatif. Jika fenomena Islam dan demokrasi serta Islam dan politik
dituliskan dan dibakukan, seringkali masih saja ada hal-hal yang terlewatkan
dan tak terkatakan.
Melalui
penelitiannya yang tajam dan mendalam, dan dengan perspektif “antropologi
demokrasi”-nya, menurut penerbit buku ini—ISAI—Hefner menunjukkan modal sosial
dari sejarah Islam Indonesia bagi sumbangannya untuk demokratisasi. Akan
tetapi, sekaligus dengan itu, ia memberikan titik lemahnya yang bisa memukul
balik upaya-upaya demokratisasi. Sebagai seorang antropolog dan Indonesianis, Hefner
telah seperempat abad lebih memperhatikan Indonesia . Dengan begitu, Hefner
telah punya otoritas yang cukup memadai untuk mengkaji Indonesia .
Hefner telah dikenal dengan beberapa kajiannya menyangkut hubungan agama,
kapitalisme, negara, dan demokratisasi, dengan rujukan kasusnya Islam di
Indonesia.
Buku Hefner yang diterjemahkan ke edisi Indonesia sesuai dengan judul edisi Inggrisnya
ini mencoba mendeskripsikan sekaligus menganalisis peristiwa dan momen-momen
penting dalam belantara sosial-politik Indonesia , kaitannya dengan proses
demokratisasi, khususnya peran yang disumbangkan oleh Islam. Deskripsi dan analisisnya
dimulai dari era Orde Lama-nya Soekarno tahun 1940-an hingga tumbangnya rezim
Orde Baru-nya Soeharto di tahun 1998.
Dalam fase sejarah itu, karena Islam hadir dalam wajahnya
yang sangat beragam, maka di satu sisi, Islam punya peran serta yang (cukup)
signifikan dalam proses demokratisasi, tapi di sisi lain, Islam (kadang) juga
menghambat proses demokratisasi. Analisis terhadap faktor Islam kaitannya
dengan proses demokratisasi di Indonesia
tentu sangat penting karena pemeluk Islam merupakan populasi mayoritas penduduk
di Indonesia .
Bahkan Indonesia
merupakan satu-satunya negara di dunia yang pemeluk Islamnya terbesar.
Selain persentuhannya dengan negara dan kekuasaan, dalam
konteks demokrasi, menelaah Islam kaitannya dengan pluralitas masyarakat yang
tinggi dan menghampar di Indonesia
pun sebenarnya, menjadi sedemikian menarik. Inilah yang coba dilakukan oleh
Hefner, Aminudin, Thaba, dan Karim. Demokrasi memang bukan hanya persoalan
hubungan antara masyarakat (sipil) dengan negara (pemerintahan), tetapi juga
menyangkut hubungan antar masyarakat itu sendiri yang basis nilai dan basis
kesadarannya—untuk konteks Indonesia —sedemikian
beragam.
Demokrasi sudah barang tentu mengandaikan tatanan
pemerintahan dan struktur masyarakat yang (lebih) sehat, baik, dan beradab.
Cuma, sehat-baik-beradab yang “bagaimana” dan menurut “siapa” itulah
yang menjadi persoalan. Untuk itu, biarkan tafsir sejarah menghampar luas.
Semakin banyak tafsir sejarah dan semakin banyak perspektif yang dimunculkan,
maka akan semakin bagus. Dari pluralitas tafsir inilah generasi
umat manusia akan bisa belajar secara bijak dari masa lalu pendahulunya.
Pembacaan terhadap momen sejarah tertentu tidak akan pernah berhenti. Pembacaan
ulang terhadap sejarah akan terus berlangsung, sampai kapan pun; apalagi
terhadap peristiwa yang masih diselimuti kabut misteri, katakanlah seperti G 30
S PKI dan tumbangnya Orde Lama. Pembacaan terhadap belantara politik Islam dan
Islam politik yang otomatis berkaitan dengan wacana demokrasi, juga akan terus
berlangsung dalam konteks yang beragam. Ini hanya salah satu sampel di antara
sekian banyak “pembacaan” terhadap Islam dan demokratisasi di Indonesia.
***
Di era Soekarno,
di satu sisi, Islam kadang mendukung dan menjadi bagian dari kekuasaan,
sementara di sisi lain kadang menentang dan berada di luar kekuasaan. Pola
seperti ini juga kita temui pada era Soeharto. Bahkan, jika dicermati, juga
terjadi pada pemerintahan sesudahnya, yakni Habibie, Abdurrahman Wahid, dan
Megawati. Fragmen sejarah Islam dan demokratisasi cukup penting—terutama di
masa rezim Soeharto-lah—yang coba dipotret oleh empat buku ini. Dalam konteks
relasi dan tarik menarik antara Islam (lebih tepatnya “pemeluk Islam”) dengan
rezim kekuasaan, maka rezim kekuasaan tampaknya memainkan peran yang lebih
dominan.
Ini bisa
dimaklumi karena kekuasaan punya power dan aparat-coersive.Rezim kekuasaan seringkali bertindak
pragmatis. Demi mempertahankan kekuasaannya, maka rezim kekuasaan melakukan
manuver apa saja: kadang merangkul, tapi kadang juga memberangus Islam. Untuk
itu masuk akal juga jika ada ide sekularisasi, dimana agama (khususnya Islam)
coba dipisahkan dari negara. Jika mendekat ke entitas negara dan kekuasaan,
maka agama (Islam) sangat rentan karena bisa diperalat untuk melanggengkan
kekuasaan, bahkan untuk menguasai dan menindas masyarakat. Wacana sekularisasi
mendapat porsi bahasan yang panjang lebar oleh Hefner, melebihi tiga buku
lainnya karya Aminudin, Karim, dan Thaba. Wacana sekularisasi yang telah lama
bertiup (lagi-lagi!) dari Barat telah terjadi di era Soekarno, dan terus
berlangsung di era Soeharto, bahkan era-era presiden setelahnya, yakni Habibie,
Abdurrahman Wahid, dan Megawati.
Untuk menetralisir ide-ide sekularisasi, Soekarno misalnya,
mencoba merangkul komunitas agama—khususnya Islam—lewat ideologi nasakom-nya, yakni mencoba menyatukan
tiga unsur penting: nasionalisme, agama, dan komunisme. Rezim kekuasaan
seringkali alergi terhadap Islam politik dan Islam ideologis yang kadangkala
sangat obsesif menegakkan tatanan kehidupan berdasarkan syariat Islam, hukum
Islam, dan puncaknya mendirikan negara Islam. Beberapa diantaranya bahkan
melakukan pemberontakan radikal bersenjata, ingin memisahkan diri dari NKRI dan
mendirikan negara Islam. Benih-benih Islam ideologis muncul bahkan sebelum pemerintahan
Soekarno, di masa pemerintahan Soekarno, dan di masa Soeharto. Di era reformasi
pun benih-benih Islam politik dan Islam ideologis tetap ada, bahkan mungkin
sampai kapan pun.
Dari situlah, rezim Soeharto lantas mengidap Islamo phobia (ketakutan terhadap Islam) yang berlebihan,
kemudian melakukan langkah-langkah represif dengan cara mendepolitisasi Islam,
atau minimal menyudutkan Islam ke pinggir, terutama pada sepuluh tahun pertama
pemerintahan rezim Soeharto. Puncaknya adalah ketika terjadi ideologisasi dan
pengasastunggalan Pancasila. Ini terutama dikaji secara intensif oleh Karim di
bawah titel “Negara dan Peminggiran Islam Politik”.
Baru pada era 1990-an, ketika rezim Soeharto merasa
menghadapi tekanan yang gencar dari berbagai kelompok pro-demokrasi, maka
Soeharto pun mencoba merangkul, memanfaatkan, atau bahkan memperalat kelompok
Islam yang dulu didepolitisasi dan diusir ke pinggir sejarah. Untuk
mempertahankan kekuasaannya, Soeharto seringkali mempromosikan Islam “kultural”
sambil dengan tegas menekan Islam “politik”. Soeharto pun tidak segan-segan
melakukan ritual-ritual Islam, yang menurut beberapa pengamat, lebih tampak
sebagai fenomena politik daripada spiritual. Tujuannya jelas untuk mengelabui
umat Islam dan mengharapkan dukungan dari umat Islam sebagai kelompok mayoritas
agar kekuasaan Soeharto tidak tergoyahkan. Aminudin secara tepat mengistilahkan
aktivitas keagamaan Soeharto di era 90-an sebagai “kosmetik politik” belaka
(hlm. 305). Sebagaimana diungkap Hefner mengutip Douglas Ramage, tindakan
pemerintah menggambarkan kebijakan kolonial Belanda yang toleran terhadap Islam
(kultural-pen), tapi menindas secara bengis terhadap semua bentuk
politik Islam (hlm. 216).
Di era 90-an, untuk mengamankan kekuasaannya setelah dia
mendapat “serangan” dari berbagai kelompok pro-demokrasi, Soeharto mencoba
mendekati dan memikat komunitas Islam dengan berbagai manuver yang halus tapi
licik. Thaba mencatat beberapa di antaranya, misalnya: pendirian masjid yang
terus digencarkan, pengiriman dai-dai yang sudah dilitsus ke berbagai pelosok
tanah air, pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI), pendirian Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), pendirian pers Islam (misalnya Republika),
islamisasi atau “hijauisasi” lembaga pemerintahan terutama di kabinet
pembangunan VI dan lembaga DPR. dan beberapa lagi lainnya. Pada era 90-an dan
terutama menjelang akhir kekuasaannya tahun 1998, Soeharto mencoba merangkul
kelompok Islam seluas mungkin, khususnya kelompok Islam (ultra)konservatif.
Menurut Hefner, pada era ini, Soeharto sedang memainkan kartu Islam untuk
menghadapi kalangan militer dan gerakan pro-demokrasi yang telah mulai
menantang kekuasaannya (hlm. 225).
Pada masa ini, ketika Soeharto gencar-gencarnya mendekati
dan memainkan faktor Islam untuk menyelamatkan kekuasaannya, maka kemudian
muncul istilah “Islam yang Tertundukkan” dan “Islam Rezimis” yang dilansir oleh
Hefner untuk menunjuk kelompok Islam dari sayap sipil dan militer yang
membentengi kekuasaan Soeharto. Yang banyak disorot oleh Hefner, terutama
adalah manuver Prabowo, seorang jenderal militer menantu Soeharto yang licik
dan ambisius, yang mencoba membentengi kekuasaan Soeharto dan merintis ambisi
jabatan pribadinya, dengan cara menjalin konspirasi dengan kelompok Islam ultra-konservatif (ini merupakan istilah khas dari Hefner
sendiri).
***
Baik di era Soekarno, atau apalagi di era Soeharto,
komunitas Islam tertentu lewat para pemuka agamanya, ironisnya kadangkala
justeru menjadi alat legitimasi untuk mendukung kekuasaan yang otoriter dan
tidak demokratis. Dalam berbagai kasusnya yang cukup banyak, hal ini
dibentangkan dan dianalisis secara cukup baik oleh—terutama—Hefner dan
Aminudin. Agama, khususnya Islam, dalam pentas sejarah tanah air, sebagaimana
secara dipotret oleh empat buku ini bisa menyiratkan paradoks: kadang bisa
menebar kedamaian, sekaligus memicu kekerasan.
Kekerasan terbesar dan tragedi kemanusiaan dalam sejarah
tanah air dan ironisnya melibatkan komunitas Islam, misalnya terjadi setelah
peristiwa G 30 S PKI, di akhir tahun 1965 dan sepanjang tahun 1966. Dalam
tragedi saling bantai anak bangsa ini, diperkirakan sekitar lima ratus ribu nyawa manusia melayang.
Hefner pernah meneliti peristiwa ini di Jawa Timur dan mempresentasikannya
secara mendebarkan di depan kaum muda NU yang cerdas, bersemangat, tapi juga
bijak. Agama kadangkala bisa juga menjadi pemicu pertikaian dan kekerasan,
bahkan antar pemeluk agama yang berlainan, atau bahkan antar berbagai aliran
dalam satu agama sekali pun. Aminudin dan Karim, misalnya, mencoba membahas persaingan
atau konflik tersembunyi antara Islam dan Kristen, dalam fase-fase tertentu
sejarah Orde Baru. Kenyataan yang ironis ini tidak diekspos—atau hanya disapa
secara sepintas lalu—oleh dua buku lainnya tulisan Hefner dan Thaba. Mungkin
bagi Hefner dan Thaba, kenyataan “kecil” yang “kurang nyaman” seperti itu tidak
layak ditampilkan dalam momen penting sejarah.
Banyak sekali momen sejarah Islam dan demokratisasi di tanah
air yang diekspos oleh empat buku ini. Berhubung ruangannya yang terbatas, maka
tidak memungkinkan untuk ditampilkan secara lengkap dan agak detil. Wacana yang
cukup penting dalam konteks demokratisasi bangsa dan selalu terulang pada
berbagai fase sejarah tanah air, sebagaimana diurai Hefner, Aminudin, dan
Thaba, adalah dialog, debat, bahkan pertikaian, antara komunitas Islam
literalis dengan komunitas sekuler. Kelompok yang belakangan ini bisa berasal
dari akar agama tapi juga bisa berakar dari “luar” agama. Debat antara
komunitas Islam Literalis versus komunitas sekuler (yang paling lantang
misalnya diwakili komunitas Islam Liberal) di seputar agama dan negara, masih
ramai terjadi di era reformasi.
Dalam konteks ini, jika ditarik dalam fenomena yang lebih
luas dan umum, menurut Hefner, selama dekade awal abad ke-20, gagasan
nasionalisme merupakan fokus perdebatan politik paling seru di dunia Islam.
Lebih dari seabad umat Islam bergumul dengan persoalan bagaimana mempertemukan
politik Islam dengan gagasan kebangsaan dan kewarganegaraan. Ini
kian terbukti pada akhir abad 20, tulis Hefner, dalam pertarungan antara
nasionalisme sekuler (atau non-konfensional) dan nasionalisme Islam (hlm. 78).
Dalam konteks
Indonesia, Pancasila yang dirumuskan Soekarno, sebagaimana disitir Hefner,
merupakan perpaduan yang unik antara ide-ide nasionalisme, Islam, marxisme,
demokrasi liberal, dan ide-ide kerakyatan Indonesia. Dalam pandangan Soekarno,
perpaduan berbagai ide tersebut diharapkan bisa memuaskan kalangan nasionalis
sekuler dan nasionalisme Islam.
Dari bahasan
sederhana di atas, bisa ditarik suatu pelajaran bahwa di masa depan Islam bisa
punya sumbangsih terhadap demokrasi, bisa juga tidak. Dalam persoalan
demokratisasi—sebagaimana juga ditemui pada berbagai negara di belahan dunia
dalam berbagai fase sejarah—Islam ternyata berwajah dua. Di satu sisi Islam
bisa sejalan dengan demokrasi, tapi di sisi yang lain justeru bertentangan. Hal ini sangat
tergantung pada bagaimana Islam diekspresikan oleh para pemeluknya.
Warna Islam sedemikian banyak dan beragam, sehingga
persentuhan Islam dengan demokrasi, politik, negara, pemerintahan, dan
masyarakat manusia di luar Islam pun, bisa sangat banyak ragamnya. Maka yang
penting bukan faktor Islamnya itu sendiri, melainkan ekpresi para pemeluk Islam
dalam dunia yang riil.
Lebih dari kenyataan itu, menurut Hefner, sejarah tidak
pernah berakhir, tidak ada kemenangan idealitas demokrasi yang definitif. Zaman
kita tetap zaman percobaan demokrasi dan apakah lebih baik atau lebih buruk,
putusan sejarah akan beragam.***
0 komentar:
Posting Komentar