islam dan negara orde baru
Pada saat Natsir melontarkan kalimat seperti ini, hubungan Islam dengan Orde Baru sedang diwarnai ketegangan. Berbeda dengan masa-masa awal kelahiran Orde Baru, relasi Islam degan pemerintahan transisi dari Demokrasi Terpimpin (Soekarno) ke pemerintahan baru (Soeharto) sangat harmonis dan saling memerlukan.
Pada saat Natsir melontarkan kalimat seperti ini, hubungan Islam dengan Orde Baru sedang diwarnai ketegangan. Berbeda dengan masa-masa awal kelahiran Orde Baru, relasi Islam degan pemerintahan transisi dari Demokrasi Terpimpin (Soekarno) ke pemerintahan baru (Soeharto) sangat harmonis dan saling memerlukan.
Saling memerlukan karena setelah terjadi turbulensi politik
September 1965, ketika kekuasaan beralih ke militer (Jenderal Soeharto),
yang terakhir ini mencari dukungan politik untuk menghancurkan pengikut dan
simpatisan komunis.
Sebelumnya ketika bandul kekuasaan Demokrasi Terpimpin
bergerak ke kiri pada akhir tahun 1960-an, ketegangan politik dan
ketidaksenangan kalangan Islam, terutama Islam modernis yang direpresentasikan
oleh Masyumi dan Islam tradisionalis yang diwakili Nahdlatul Ulama, terhadap
kaum komunis meninggi.
Begitu pula dengan militer yang menjadi salah satu
kekuatan politik yang sekaligus menjadi kompetitor politik bagi Soekarno dan
Partai Komunis, pada masa itu mulai membangun kontak-kontak politik dengan
kalangan Islam modernis untuk melawan Partai Komunis.
Setelah meletup turbulensi politik September 1965 dan
kemudian kekuasaan diambilalih Jenderal Soeharto, yang terakhir ini memerlukan
bantuan masyarakat sipil (Islam) seperti Nahdatul Ulama, Islam modernis,
dan intelektual sekular bukan Islam untuk menindas Partai Komunis.
Kelompok Islam diperlukan karena kelompok ini adalah
satu-satunya kekuatan yang ada yang dapat dimobilisasi melawan partai
kiri ini. Pada waktu itu, sekalipun kalangan Islam menyokong Jenderal Soeharto,
tetapi Masyumi, partai yang pernah dipimpin Natsir ini masih dilarang.
Partai nasionalis terbelah antara yang dekat Soekarno dan
yang mulai mengambil jarak dengan Pemimpin Besar Revolusi ini, sedangkan
Sekber Golkar belum dapat dijadikan instrumen pendukung pembersihan komunis.
Setelah Partai Komunis disingkirkan, Orde Baru di bawah
Soeharto menggantikan Demokrasi Terpimpin. Sewaktu Orde Baru lahir, umat Islam
yang telah memberi kontribusi besar dalam kelahiran Orde Baru menyambutnya
dengan antusias dengan harapan kelompok Islam dapat mengisi pemerintahan
baru.
Selain itu, muncul keinginan politik yang kuat agar
Masyumi, partai yang dibekukan aktivitas politiknya dapat direhabilitasi kembali
menjadi partai politik. Ternyata Orde Baru yang ditopang militer itu
menjalankan logika kekuasaannya sendiri. Keinginan politik umat Islam agar
Masyumi direhabilitasi ditolak.
Penolakan ini didasarkan atas ketakutan Orde Baru akan
bangkitnya kekuatan politik Islam, selain juga karena keterlibatan Masyumi atas
pemberontakan daerah yang membuat kelompok militer, terutama para
jenderal abangan di lingkaran Soeharto yang anti Islam menolak
rehabilitasi Masyumi.
Untuk mengurangi kekecewaan umat, Orde Baru lewat
Jenderal Ali Murtopo, seorang perwira tinggi intelijen yang dikenal luas dengan
manuver-manuver politiknya mendirikan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi)
tahun 1968. Pada awalnya yang akan menjadi pemimpin Parmusi adalah
Mintarejaja, seorang intelektual Islam. Tetapi kemudian lewat manuver politik
Ali Murtopo, Mintereja mendadak digantikan oleh John Naro.
Demikian pula dengan NU yang mengharapkan konsesi-konsesi
politik dalam kekuasaan juga mengalami kekecewaaan karena dari personalia
kabinet pertama Orde Baru, hanya satu posisi (Menteri Agama, Idham Chalid) yang
diberikan kepada NU, sisanya personalia kabinet diisi kalangan sekuler dan
Islam abangan. Sikap Orde Baru memperlakukan umat Islam bagaikan anak tiri ini
semakin melambungkan kekecewaan umat Islam.
Setelah memangkas kekuatan Islam, dalam menghadapi
Pemilu 1971 Orde Baru melalui Ali Murtopo menghidupkan kembali Sekber Golkar
sebagai mesin politik kekuasaan. Sewaktu hendak ditubuhkan sebagai partai
penguasa, Ali Murtopo lewat manuver politiknya melakukan, meminjam bahasa
Ken Ward, pembuldoseran politik dengan cara menekan lawan politik yang tentu
saja lewat ancaman dan teror seraya menarik kelompok-kelompok tertentu untuk
mendukung Sekber Golkar.
Dalam menempatkan kepengurusan Sekber Golkar, Ali
Murtopo memilih kelompok Katolik dan Protestan menduduki jabatan
puncak kepemimpinan partai. Sejak masa ini sampai tahun 1983 tidak
satupun kelompok Islam yang menduduki kepengurusan partai, kalaupun ada orang
Islam yang menjadi pimpinan partai mereka adalah Islamabangan.
Sewaktu Pemilu 1971 digelar yang muncul sebagai peraih suara
terbesar adalah Sekber Golkar, sedangkan Nahdlatul Ulama, Parmusi, Perti, dan
PSII perolehan suaranya jauh di bawah suara Sekber Golkar. Meskipun
Sekber Golkar memenangi Pemilu 1971, tetapi perolehan suara partai-partai Islam
tetap saja dianggap ancaman Orde Baru.
Dalam upaya mengonsolidasi kekuasaannya, Orde Baru
menjalankan rekayasa politik dengan menggabungkan partai-partai Islam
(Nahdlatul Ulama, Parmusi, Perti, dan PSII) ke dalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia dan
sebagainya disatukan dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sedangkan Sekber
Golkar kemudian menjadi Golkar.
Menyatunya partai-partai Islam ke dalam PPP bukannya
memperkuat partai, tetapi semakin memperlemah keberadaan partai-partai Islam.
Bahkan penyatuan tersebut membuat partai-partai Islam yang bergabung dalam PPP
semakin rentan terhadap konflik antar-partai dan perseteruan tokoh partai,
terutama antara Nahdlatul Ulama dan Parmusi.
Akibatnya, pada masa ini partai-parati Islam (PPP)
mengalami demoralisasi politik. Seturut dengan menyusutnya kekuatan politik
Islam, pasca pemilu 1971 pos-pos kementerian yang diisi kalangan Islam
(Nahdlatul Ulama) semakin menghilang.
Jika di masa kabinet pertama Orde Baru, kelompok
Islam tradisional masih mendapat posisi sebagai Menteri Agama, setelah kabinet
berikutnya pos kementerian itu diserahkan kepada orang-orang yang tidak
mempunyai basis Islam yang kuat seperti Mukti Ali, Munawir Sazali, dan Alamsjah
Ratuprawiranegara.
Sementara itu jabatan di bawah Menteri, semisal Sekretaris
Jenderal, Direktorat Jenderal, dan Inspektur Jenderal dalam berbagai
kementerian dikuasai militer. Dengan bergesernya pos kementerian agama yang
selama ini menjadi prestise politik Islam tradisionalis ke individual non
partai semakin merontokkan kekuatan politik Islam.
Hal ini berakibat semakin memburuknya relasi antara Islam
dan Orde Baru. Memburuknya relasi antara Islam dan Orde Baru inilah yang
menyebabkan Natsir mengatakan seperti di awal tulisan ini, memperlakukan Islam
seperti kucing kurap. Pada 1980-an selain berhasil menyatukan kekuatan militer,
Orde Baru memasyarakatkan Pancasila dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan
bermasyarakat.
Gagasan memberlakukan Pancasila yang asal usulnya dari
gagasan negara integralistiknya Supomo ini sudah berlangsung lama terutama
sejak Jenderal Abdul Harris Nasution menjadi petinggi militer tahun 1950-an.
Kemudian pemasyarakatan Pancasila ini dilanjutkan dan terus
mendapat sokongan dari ideolog-ideolog militer dan sipil Orde Baru.
Bersamaan dengan berlangsungnya pemasyarakatan Pancasila, Orde Baru
mengeluarkan istilah ‘esktrim kanan’ yang sering kali dikaitkan dengan
kegiatan Darul Islam.
Di mata penguasa Orde Baru sebutan ‘esktrim kanan’ selalu
dihubungkan sebagai upaya negara memojokkan kelompok Islam yang menolak
Pancasila. Penerapan Pancasila ini melahirkan ketegangan politik antara Islam
dan Orde Baru. Namun dalam merespons Pancasila terjadi pergolakan politik
internal di kalangan umat Islam. Ada yang
menerima Pancasila, ada yang menolak ideologi negara ini.
Gerakan cultural
Ruang politik dan ruang publik yang dimonopoli Orde
Baru yang berujung dengan pemerosotan kekuatan politik Islam tidak serta merta
terus menerus disikapi secara politik oleh kelompok Islam lainnya.
Ruang politik dan ruang publik yang menjauh
dari political civility itu, oleh kelompok Islam yang bergerak di
ranah kultural yang tidak mengglorifikasi kekuatan Islam pada kekuatan politik
memanfaatkan ruang publik yang tersedia dengan melakukan sekularisasi
politik dengan slogan terkenalnya ‘Islam ya, partai Islam no’, yang
dimulai tahun 1970-an saat Parpol Islam mengalami demoralisasi politik.
Gerakan kultural ini dipelopori antar lain Nurcholis
Madjid, Dawam Rahardjo, Utomo Danandjaya, dan Ahmad Wahib menjauhkan diri dari
politik, tetapi melakukan dakwah sambil memperkuat sumber daya umat
(pendidikan).
Gerakan kultural ini relatif bebas dari sensor kekuasaan.
Seturut dengan itu Orde Baru melakukan pembangunan pendidikan, terutama
madrasah dan dibukanya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) serta perguruan
tinggi sekuler lainnya semakin mempercepat berkembangnya gerakan kultural
Islam ini.
Bersamaan dengan meluasnya pendidikan jumlah kalangan Islam
yang memasuki birokrasi makin hari makin membesar. Sementara itu di tingkat
nasional partai penguasa Golkar yang tadinya dikuasai bukan Muslim,
setelah tahun 1983 kalangan Muslim dengan contoh par exellencenyaAkbar
Tanjung berhasil menembus kepengurusan Golkar.
Dalam lanskap politik yang lebih luas bergesernya aliansi
politik di kalangan militer yang dipayungi para jenderal awal berdirinya Orde
Baru makin hari makin melemah dan satu demi satu menghilang dari arena politik.
Sejalan dengan itu para petinggi militer yang memegang
kekuasaan yang notabene penerus para pendahulunya itu membangun
klik-klik politik militer semisal makin menguatnya posisi kelompok Benny
Moerdani menyebabkan terdisrupsinya kekuasaan Soeharto.
Pergeseran aliansi politik inilah yang kemudian mendorong
Soeharto mendekatkan diri pada kelompok Islam sambil mencitrakan dirinya
sebagai Muslim taat guna menjustifikasi merapatnya penguasa Orde Baru ini
dengan kelompok Islam.
Sementara itu gerakan kultural Islam yang disemai Nurcholis
Madjid tidak saja berhasil mengislamkan birokrasi tetapi juga melahirkan kelas
menengah Muslim yang sadar politik yang menuntut agar Islam diberi tempat dalam
format kekuasaan.
Rangkaian pergeseran politik ini diakomodir Orde Baru yang
kemudian mendorong perubahan politik, yaitu mendekatnya relasi Islam dan negara
(Orde Baru) yang sangat berbeda dengan masa sebelumnya. Sejak itu
Islam memainkan peranan penting dalam kekuasaan Orde Baru, pasca kejatuhannya,
dan sampai sekarang ini
Negara merupakan organisasi sekelompok orang yang
bersama-sama mendiami dan tinggal di satu wilayah dan mengakui suatu
pemerintahan. Unsur-unsur terbentuknya suatu negara secara konstitutif adalah
wilayah, rakyat, dan pemerintahan. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 26 ayat 1,
warga negara Indonesiaadalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain
yang bertempat tinggal di Indonesia ,
dan mengakui Indonesia sebagai
tanah airnya dan bersikap setia kepada NKRI yang disahkan dengan UU. Indonesia menganut
sistem pemerintahan demokrasi sesuai dengan Pancasila. Dimana warga negaranya
diberi kebebasan untuk menyalurkan aspirasinya tetapi tentunya dalam konteks
yang positif. Sistem demokrasi ini menandakan bahwa Indonesia sangat
menghargai warga negaranya sebagai mahluk ciptaan Allah SWT dan mengakui
persamaan derajat manusia.
Sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, Tujuan Negara
Republik Indonesia :
1) Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darahIndonesia ;
2) Memajukan kesejahteraan umum;
3) Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia.
1) Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
2) Memajukan kesejahteraan umum;
3) Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Tidak akan ada negara tanpa warga negara. Warga negara
merupakan unsur terpenting dalam hal terbentuknya negara. Warga negara dan
negara merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling
berkaitan dan memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang berupa hubungan
timbal balik. Warga negara mempunyai kewajiban untuk menjaga nama baik negara
dan membelanya. Sedangkan negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan
mensejahterakan kehidupan warga negaranya. Sementara untuk hak, warga negara
memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan dan penghidupan yang layak dari
negara, sedangkan negara memiliki hak untuk mendapatkan pembelaan dan penjagaan
nama baik dari warga negaranya. Dapat disimpulkan bahwa hak negara merupakan
kewajiban warga negara dan sebaliknya kewajiban negara merupakan hak warga
negara.
Selain itu, tentunya kita sebagai warga negara Indonesia yang
baik, memiliki banyak kewajiban yang harus kita laksanakan untuk negara.
Diantaranya yang terpenting adalah mematuhi hukum-hukum yang berlaku. Negara
membuat suatu peraturan dan hukum, pasti bertujuan yang baik untuk kelangsungan
hidup dan tertatanya suatu negara. Hukum di Indonesia jika diklasifikasikan
menurut wujudnya ada 2, yaitu Hukum tertulis (UUD, UU, Perpu, PP) dan Hukum
tidak tertulis (Inpres, Kepres). Dengan hak dan kewajiban yang sama setiap
orang Indonesia tanpa
harus diperintah dapat berperan aktif dalam melaksanakan bela negara. Membela
negara tidak harus dalam wujud perang tetapi bisa diwujudkan dengan cara yang
mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seperti:
1. Ikut serta dalam mengamankan lingkungan sekitar (seperti siskamling)
2. Ikut serta membantu korban bencana di dalam negeri
3. Belajar dengan tekun pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan atau PKn
4. Mengikuti kegiatan ekstraklurikuler seperti Paskibra, PMR dan Pramuka.
1. Ikut serta dalam mengamankan lingkungan sekitar (seperti siskamling)
2. Ikut serta membantu korban bencana di dalam negeri
3. Belajar dengan tekun pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan atau PKn
4. Mengikuti kegiatan ekstraklurikuler seperti Paskibra, PMR dan Pramuka.
Dan masih banyak lagi cara untuk membela negara. Selain itu
dengan melakukan kegiatan-kegiatan di atas, kita juga dapat menumbuhkan rasa
bangga dan cinta terhadap tanah air Indonesia .
Sikap saling menghargai antar warga negara dan negaranya
(pemerintah) sangat diperlukan untuk terciptanya dan terwujudnya tujuan NKRI
yang tercantum di UUD 1945. Apabila warga negara mematuhi hukum dan peraturan
negara, dan negara (pemerintah) menanggapi dan berusaha untuk meningkatkan
kesejahteraan negaranya, maka terwujudlah Indonesia yang aman, tentram, damai,
dan sejahtera. Marilah kita saling menghargai satu sama lain demi Indonesia .
0 komentar:
Posting Komentar